Globalisasi adalah keterkaitan dan ketergantungan antar
bangsa dan antar manusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi,
perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi semakin sempit.
Globalisasi
adalah suatu proses di mana antar individu, antar kelompok, dan antar negara
saling berinteraksi, bergantung, terkait, dan memengaruhi satu sama lain yang
melintasi batas negara
Dalam
banyak hal, globalisasi mempunyai banyak karakteristik yang sama dengan internasionalisasi sehingga kedua istilah ini
sering dipertukarkan. Sebagian pihak sering menggunakan istilah globalisasi
yang dikaitkan dengan berkurangnya peran negara atau batas-batas negara.
Pengertian
Menurut
asal katanya, kata "globalisasi" diambil dari kata global,
yang maknanya ialah universal. Achmad Suparman menyatakan Globalisasi
adalah suatu proses menjadikan sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri dari
setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah Globalisasi belum
memiliki definisi yang mapan, kecuali sekedar definisi kerja (working
definition), sehingga bergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang
memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa
seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat
satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan
ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya
masyarakat.
Di
sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh
negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang
memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini,
globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuk yang paling mutakhir.
Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak
berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh
besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang
lain seperti budaya dan agama. Theodore Levitte
merupakan orang yang pertama kali menggunakan istilah Globalisasi pada tahun
1985.
Jan
Aart Scholte
melihat bahwa ada beberapa definisi yang dimaksudkan orang dengan globalisasi:
- Internasionalisasi: Globalisasi diartikan sebagai meningkatnya hubungan
internasional. Dalam hal ini masing-masing negara tetap mempertahankan
identitasnya masing-masing, namun menjadi semakin tergantung satu sama
lain.
- Liberalisasi: Globalisasi juga diartikan dengan semakin
diturunkankan batas antar negara, misalnya hambatan tarif ekspor impor,
lalu lintas devisa, maupun migrasi.
- Universalisasi: Globalisasi juga digambarkan sebagai semakin
tersebarnya hal material maupun imaterial ke seluruh dunia. Pengalaman di
satu lokalitas dapat menjadi pengalaman seluruh dunia.
- Westernisasi: Westernisasi adalah salah satu bentuk dari
universalisasi dengan semakin menyebarnya pikiran dan budaya dari barat
sehingga mengglobal.
- Hubungan transplanetari dan
suprateritorialitas:
Arti kelima ini berbeda dengan keempat definisi di atas. Pada empat
definisi pertama, masing-masing negara masih mempertahankan status
ontologinya. Pada pengertian yang kelima, dunia global memiliki status
ontologi sendiri, bukan sekadar gabungan negara-negara. [1]
Ciri globalisasi
Berikut
ini beberapa ciri yang menandakan semakin berkembangnya fenomena globalisasi di
dunia :
- Perubahan dalam Konstantin
ruang dan waktu. Perkembangan barang-barang seperti telepon genggam,
televisi satelit, dan internet
menunjukkan bahwa komunikasi global terjadi demikian cepatnya, sementara
melalui pergerakan massa semacam turisme memungkinkan kita merasakan
banyak hal dari budaya yang berbeda.
- Pasar
dan produksi ekonomi
di negara-negara yang berbeda menjadi saling bergantung sebagai akibat
dari pertumbuhan perdagangan internasional, peningkatan pengaruh
perusahaan multinasional, dan dominasi organisasi semacam World
Trade Organization
(WTO).
- Peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa (terutama televisi,
film, musik, dan transmisi berita dan olah raga internasional). saat ini,
kita dapat mengonsumsi dan mengalami gagasan dan pengalaman baru mengenai
hal-hal yang melintasi beraneka ragam budaya, misalnya dalam bidang fashion,
literatur, dan makanan.
- Meningkatnya masalah bersama,
misalnya pada bidang lingkungan hidup, krisis multinasional, inflasi regional dan lain-lain.
Kennedy dan Cohen
menyimpulkan bahwa transformasi ini telah membawa kita pada globalisme, sebuah
kesadaran dan pemahaman baru bahwa dunia adalah satu. Giddens menegaskan bahwa kebanyakan
dari kita sadar bahwa sebenarnya diri kita turut ambil bagian dalam sebuah dunia
yang harus berubah tanpa terkendali yang ditandai dengan selera dan rasa
ketertarikan akan hal sama, perubahan dan ketidakpastian, serta kenyataan yang
mungkin terjadi. Sejalan dengan itu, Peter Drucker menyebutkan globalisasi sebagai zaman
transformasi sosial.
Globalisasi perekonomian
Globalisasi perekonomian merupakan suatu proses
kegiatan ekonomi dan perdagangan, dimana negara-negara di seluruh dunia
menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi dengan tanpa rintangan batas teritorial negara. Globalisasi
perekonomian mengharuskan penghapusan seluruh batasan dan hambatan terhadap
arus modal, barang dan jasa.
Ketika
globalisasi ekonomi terjadi, batas-batas suatu negara akan menjadi kabur dan
keterkaitan antara ekonomi nasional dengan perekonomian internasional akan
semakin erat. Globalisasi perekonomian di satu pihak akan membuka peluang pasar
produk dari dalam negeri ke pasar internasional secara kompetitif, sebaliknya
juga membuka peluang masuknya produk-produk global ke dalam pasar domestik.
Menurut
Tanri Abeng, perwujudan nyata dari globalisasi ekonomi
antara lain terjadi dalam bentuk-bentuk berikut:
- Globalisasi
produksi, di mana perusahaan
berproduksi di berbagai negara,
dengan sasaran agar biaya produksi menajdi lebih rendah. Hal ini dilakukan
baik karena upah buruh
yang rendah, tarif bea masuk yang murah, infrastruktur yang memadai
ataupun karena iklim usaha dan politik yang kondusif. Dunia dalam hal ini
menjadi lokasi manufaktur global.
- Globalisasi
pembiayaan. Perusahaan global mempunyai
akses untuk memperoleh pinjaman atau melakukan investasi (baik dalam bentuk portofolio ataupun langsung) di
semua negara di dunia. Sebagai contoh, PT Telkom
dalam memperbanyak satuan sambungan telepon, atau PT Jasa Marga dalam
memperluas jaringan jalan tol telah memanfaatkan sistem pembiayaan dengan
pola BOT (build-operate-transfer) bersama mitrausaha dari manca
negara.
- Globalisasi
tenaga kerja. Perusahaan global akan mampu
memanfaatkan tenaga kerja dari seluruh dunia sesuai kelasnya, seperti
penggunaan staf profesional diambil dari tenaga kerja yang telah memiliki
pengalaman internasional atau buruh kasar yang biasa diperoleh dari negara
berkembang. Dengan globalisasi maka human movement akan semakin
mudah dan bebas.
- Globalisasi
jaringan informasi. Masyarakat suatu negara dengan mudah dan cepat mendapatkan
informasi dari negara-negara di dunia karena kemajuan teknologi, antara
lain melalui: TV,radio,media cetak dll. Dengan jaringan komunikasi yang
semakin maju telah membantu meluasnya pasar ke berbagai belahan dunia
untuk barang yang sama. Sebagai contoh : KFC, celana jeans levi's,
atau hamburger melanda pasar dimana-mana. Akibatnya selera masyarakat
dunia -baik yang berdomisili di kota ataupun di desa- menuju pada selera
global.
- Globalisasi
Perdagangan. Hal ini terwujud dalam bentuk
penurunan dan penyeragaman tarif serta penghapusan berbagai hambatan nontarif.
Dengan demikian kegiatan perdagangan dan persaingan menjadi semakin cepat,
ketat, dan adil.
Thompson mencatat bahwa kaum globalis mengklaim saat
ini telah terjadi sebuah intensifikasi secara cepat dalam investasi dan
perdagangan internasional. Misalnya, secara nyata perekonomian nasional telah
menjadi bagian dari perekonomian global yang ditengarai dengan adanya kekuatan
pasar dunia.
Dampak Positif Globalisasi Ekonomi
- Produksi
global dapat ditingkatkan
Pandangan
ini sesuai dengan teori 'Keuntungan Komparatif' dari David
Ricardo.
Melalui spesialisasi dan perdagangan faktor-faktor produksi dunia dapat digunakan dengan lebih efesien,
output dunia bertambah dan masyarakat akan memperoleh keuntungan dari
spesialisasi dan perdagangan dalam bentuk pendapatan yang meningkat, yang
selanjutnya dapat meningkatkan pembelanjaan dan tabungan.
- Meningkatkan
kemakmuran masyarakat dalam suatu negara
Perdagangan
yang lebih bebas memungkinkan masyarakat dari berbagai negara mengimpor lebih
banyak barang dari luar negeri. Hal ini menyebabkan konsumen mempunyai pilihan
barang yang lebih banyak. Selain itu, konsumen juga dapat menikmati barang yang
lebih baik dengan harga yang lebih rendah.
- Meluaskan
pasar untuk produk dalam negeri
Perdagangan
luar negeri yang lebih bebas memungkinkan setiap negara memperoleh pasar yang jauh lebih luas dari pasar
dalam negeri.
- Dapat
memperoleh lebih banyak modal dan teknologi yang lebih baik
Modal
dapat diperoleh dari investasi asing dan terutama dinikmati oleh negara-negara
berkembang karena masalah kekurangan modal dan tenaga ahli serta tenaga
terdidik yang berpengalaman kebanyakan dihadapi oleh negara-negara berkembang.
- Menyediakan
dana tambahan untuk pembangunan ekonomi
Pembangunan
sektor industri dan berbagai sektor lainnya bukan saja dikembangkan oleh
perusahaan asing, tetapi terutamanya melalui investasi yang dilakukan oleh
perusahaan swasta domestik. Perusahaan domestik ini seringkali memerlukan modal
dari bank atau pasar saham. dana dari luar negeri terutama dari negara-negara
maju yang memasuki pasar uang dan pasar modal di dalam negeri dapat membantu
menyediakan modal yang dibutuhkan tersebut.
Dampak Negatif Globalisasi Ekonomi
- Menghambat
pertumbuhan sektor industri
Salah
satu efek dari globalisasi adalah perkembangan sistem perdagangan luar negeri
yang lebih bebas. Perkembangan ini menyebabkan negara-negara berkembang tidak
dapat lagi menggunakan tarif yang tingi untuk memberikan proteksi kepada
industri yang baru berkembang (infant industry). Dengan demikian, perdagangan
luar negeri yang lebih bebas menimbulkan hambatan kepada negara berkembang
untuk memajukan sektor industri domestik yang lebih cepat. Selain itu,
ketergantungan kepada industri-industri yang dimiliki perusahaan multinasional
semakin meningkat.
- Memperburuk
neraca pembayaran
Globalisasi
cenderung menaikkan barang-barang impor. Sebaliknya, apabila suatu
negara tidak mampu bersaing, maka ekspor tidak berkembang. Keadaan ini dapat
memperburuk kondisi neraca pembayaran. Efek buruk lain dari globaliassi terhadap
neraca pembayaran adalah pembayaran neto pendapatan faktor produksi dari luar
negeri cenderung mengalami defisit. Investasi asing yang bertambah banyak
menyebabkan aliran pembayaran keuntungan (pendapatan) investasi ke luar negeri
semakin meningkat. Tidak berkembangnya ekspor dapat berakibat buruk terhadap
neraca pembayaran.
- Sektor
keuangan semakin tidak stabil
Salah
satu efek penting dari globalisasi adalah pengaliran investasi (modal)
portofolio yang semakin besar. Investasi ini terutama meliputi partisipasi dana
luar negeri ke pasar saham. Ketika pasar saham sedang
meningkat, dana ini akan mengalir masuk, neraca pembayaran bertambah bak dan nilai
uang
akan bertambah baik. Sebaliknya, ketika harga-harga saham di pasar saham
menurun, dana dalam negeri akan mengalir ke luar negeri, neraca pembayaran
cenderung menjadi bertambah buruk dan nilai mata uang domestik merosot.
Ketidakstabilan di sektor keuangan ini dapat menimbulkan efek buruk kepada
kestabilan kegiatan ekonomi secara keseluruhan.
- Memperburuk
prospek pertumbuhan ekonomi jangka panjang
Apabila
hal-hal yang dinyatakan di atas berlaku dalam suatu negara, maka dlam jangka pendek
pertumbuhan ekonominya menjadi tidak stabil. Dalam jangka panjang pertumbuhan
yang seperti ini akan mengurangi lajunya pertumbuhan ekonomi. Pendapatan nasional dan kesempatan kerja akan
semakin lambat pertumbuhannya dan masalah pengangguran tidak dapat diatasi atau
malah semakin memburuk. Pada akhirnya, apabila globalisasi menimbulkan efek
buruk kepada prospek pertumbuhan ekonomi jangka panjang suatu negara, distribusi
pendapatan menjadi semakin tidak adil dan masalah sosial-ekonomi masyarakat
semakin bertambah buruk.
Penyebab Krisis Ekonomi Global
Ditengah
dinamika ekonomi global yang terus-menerus berubah dengan akselerasi yang
semakin tinggi sebagaimana digambarkan di atas, Indonesia mengalami terpaan
badai krisis yang intensitasnya telah sampai pada keadaan yang nyaris menuju
kebangkrutan ekonomi.
Krisis ekonomi – yang dipicu
oleh krisis moneter – beberapa waktu yang lalu, paling tidak telah memberikan indikasi
yang kuat terhadap tiga hal. Pertama, kredibilitas pemerintah telah sampai pada
titik nadir. Penyebab utamanya adalah karena langkah-langkah yang ditempuh
pemerintah dalam merenspons krisis selama ini lebih bersifat “tambal-sulam”,
ad-hoc, dan cenderung menempuh jalan yang berputar-putar.
Selain
itu, seluruh sumber daya yang dimiliki negeri ini dicurahkan sepenuhnya untuk
menyelamatkan sektor modern dari titik kehancuran. Sementara itu, sektor
tradisional, sektor informal, dan ekonomi rakyat, yang juga memiliki eksistensi
di negeri ini seakan-akan dilupakan dari wacana penyelamatan perekonomian yang
tengah menggema.
Kedua,
rezim Orde Baru yang selalu mengedepankan pertumbuhan (growth) ekonomi telah
menghasilkan crony capitalism yang telah membuat struktur perekonomian menjadi
sangat rapuh terhadap gejolak-gejolak eksternal. Industri manufaktur yang
sempat dibanggakan itu ternyata sangat bergantung pada bahan baku impor dan tak
memiliki daya tahan. Sementara itu, akibat “dianak-tirikan”, sektor pertanian
pun juga tak kunjung mature sebagai penopang laju industrialisasi. Yang saat
itu terjadi adalah derap industrialisasi melalui serangkaian kebijakan yang
cenderung merugikan sektor pertanian. Akibatnya, sektor pertanian tak mampu
berkembang secara sehat dalam merespons perubahan pola konsumsi masyarakat dan
memperkuat competitive advantage produk-produk ekspor Indonesia.
Salah
satu faktor terpenting yang bisa menjelaskan kecenderungan di atas adalah
karena proses penyesuaian ekonomi dan politik (economic and political
adjustment) tidak berlangsung secara mulus dan alamiah. Soeharto-style
state-assisted capitalism nyata-nyata telah merusak dan merapuhkan tatanan
perekonomian. Memang di satu sisi pertumbuhan ekonomi yang telah dihasilkan
cukup tinggi, namun mengakibatkan ekses yang ujung-ujungnya justru counter
productive bagi pertumbuhan yang berkelanjutan.
Ketiga,
rezim yang sangat korup telah membuat sendi-sendi perekonomian mengalami
kerapuhan. Secara umum, segala bentuk korupsi akan mengakibatkan arah alokasi
sumber daya perekonomian menjurus pada kegiatan-kegiatan yang tidak produktif
dan tidak memberikan hasil optimum. Dalam kondisi seperti ini pertumbuhan
ekonomi memang sangat mungkin terus berlangsung, bahkan pada intensitas yang
relatif tinggi. Namun demikian, sampai pada batas tertentu pasti akan
mengakibatkan melemahnya basis pertumbuhan.
Selanjutnya,
praktik-praktik korupsi secara perlahan C tapi pasti C telah merusak tatanan
ekonomi dan pembusukan politik yang disebabkan oleh perilaku penguasa, elit
politik, dan jajaran birokrasi. Keadaan semakin parah ketika jajaran angkatan
bersenjata dan aparat penegak hukum pun ternyata juga turut terseret ke dalam
jaringan praktik-praktik korupsi itu.
Hancurnya
kredibilitas pemerintah yang dibarengi dengan tingginya ketidakpastian itu
telah menyebabkan terkikisnya kepercayaan (trust). Yang terjadi dewasa ini
tidak hanya sekadar pudarnya trust masyarakat terhadap pemerintah dan
sebaliknya, melainkan juga antara pihak luar negeri dengan pemerintah, serta di
antara sesama kelompok masyarakat.
Yang
terakhir disebutkan itu tercermin dengan sangat jelas dari keberingasan massa
terhadap simbol-simbol kekuasaan serta kemewahan dan terhadap kelompok etnis
Cina, seperti yang dikenal dengan peristiwa Mei 1998.
Sementara itu, krisis
kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dapat dilihat dari respons
masyarakat yang kerap kali berlawanan dengan tujuan kebijakan yang ditempuh
pemerintah. Misalnya, kebijakan pemerintah yang seharusnya berupaya menggiring
ekspektasi masyarakat ke arah kanan, justru telah menimbulkan respons
masyarakat menuju ke arah kiri, dan sebaliknya. Faktor lainnya adalah semakin
timpangnya distribusi pendapatan dan kekayaan, sehingga mengakibatkan lunturnya
solidaritas sosial.
Dampak Yang Ditimbulkan Oleh Krisis Ekonomi Global
1. Dampak Perekonomian
Global terhadap APBNP 2008
Asumsi
inflasi dalam APBNP 2008 yang ditetapkan sebesar 6,5%, menurut Adiningsih
(Ekonom dari Universitas Gajah Mada) dalam harian Suara Karya (16/4-08), dapat
melebihi 10% akibat tekanan berat dari kondisi perekonomian global yang berada
di luar kendali pemerintah. Adiningsih mengemukakan bahwa seharusnya pemerintah
menyusun APBN secara konsevatif , karena apabila APBN dirubah terus, tentu akan
menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat. Dia juga mengungkapkan bahwa dunia
usaha juga tergantung pada pengelolaan dan realisasi APBN. Apabila APB tidak
konsisten, dipastikan dunia usaha akan sulit tumbuh, sehinga sulit diharapkan
pertumbuhan ekonomi yang tiggi. Mengenai besaran asumsi inflasi dalam APBNP,
menurutnya tidak masuk akal, karena pada akhir tahun 208 terdapat beberapa hari
raya yang sudah pasti akan memicu inflasi lebih tinggi. Disamping itu harga
minyak mentah yang masih akan melambung dan harga pangan dunia yang meroket.
Hal ini akan mempengaruhi harga komoditias di dalam negeri. Tidak semua
komoditas dapat dikendalikan oleh pemerintah. Tambahan lagi, banyak barang
impor termasuk yang illegal masuk ke ke pasar Indonesia. Hinga akhir tahun ini
diperkirakan gejolak pasar Keuangan dunia belum akan reda. Seandainya Amerika
Serikat meningkatkan suku bunga kredit, akan berdampak terhadap Indonesia dan
dikhawatirkan inflasi akan melebihi satudigit.
Dalam
menghadapi situasi perekonomian global yang tidak pasti, Raden Pardede (salah
satu calon gubernur BI yang ditolak DPR) mengemukakan pendapatnya bahwa
pemerintah harus membatasi besaran anggaran untuk subsidi. Menurutnya, dengan
asumsi harga minyak mentah sebesar US$ 95 per barel, total subsidi mencapai
sekitar Rp 33 triliun. Jika harga minyak ternyata lebih dri U$$ 100 per barel,
diperkirakan lebih dari 30% anggaran belanja habis untuk subsidi, bagaimana
dengan sektro yang lain, katanya.
Berkaitan
dengan kekurangan dana dalam APBN pasti dicarikan melalui pembiayaan yang salah
satunya adalah dengan penerbitan Suat Utang Negara (SUN) disesuaikan dengan
melihat kemampuan pasar untuk menyerapnya. Tetapi, jika subsidi tidak dibatasi,
investor akan khawatir mengnenai kemampuan negara dalam melakukan pembayaran.
Hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian dan rendahnya daya serap SUN.
Pendapat
dari kedua pengamat ekonomi tersebut perlu diperhatikan sebagai informasi untuk
mewaspadai bahwa kondisi perkonomian dunia yang saat ini sedang bergolak penuh
ketidak pastian akan berdampak terhadap tingkat inflasi, alokasi anggaran untuk
subsidi dan daya serap SUN untuk pembiayaan deficit APBN. Namun demikian,
apabila dalam perjalanannya asumsi-asumsi dalam APBNP 2008 meleset jauh dari
kenyataan, pengamat ekonomi tidak seharusnya semata-mata menyalahkan
pemerintah, karena APBN-P 2008 tersebut merupakan hasil pembahasan dan
kesepakatan antara pemerintah dengan DPR. Tambahan lagi, jika asumsi dalam
APBNP tidak sesuai lagi dengan perkembangan kondisi perekonomian, mau tidak mau
APBNP 2008 harus direvisi kembali.
Cara Mengatasi Krisis Ekonomi Global
Mengatasi
Penyebab dan Dampak Krisis Ekonomi Global masih menjadi berita hangat tanpa
melewati satu hari pun dalam bulan-bulan terakhir ini. Berbicara krisis
ekonomi adalah bukan berbicara tentang nasib satu orang bahkan lebih dari itu
semua karena ini menyangkut nasib sebuah bangsa. Berbagai argument dan komentar
pun dilontarkan di berbagai media yang selalu memojokkan pemerintahan Yudhoyono
dan BI (Bank Indonesia) Di salah satu media menyatakan bahwa Presiden Yudhoyono
menyampaikan 10 langkah untuk menghadapi masalah tersebut. Empat di antaranya :
1. Meningkatkan penggunaan
produksi dalam negeri
2. Memanfaatkan peluang
perdagangan internasional
3. Menyatukan langkah strategis
Pemerintah dengan Bank Indonesia (BI)
4. Menghindari politik non
partisan untuk menghadapi krisis.
Kedengarannya
memang masuk akal tapi untuk menghadapi
krisis itu bukanlah semata
adalah tugas pemerintah dan Bank Indonesia tapi badai krisis ini perlu dihadapi
bersama jangan sampai kejadian Krisis Ekonomi Global Part II ini lebih dahsyat
meluluh-lantakkan Perekonomian Indonesia seperti yang telah terladi pada Badai
Krisis Moneter Part I di Era Soeharto.
Sadar
atau pun tidak sadar Akibat Krisis Ekonomi Global kali in sudah sangat jauh
merambah dalam berbagai strata masyarakat. Dimana-mana pengangguran semakin
bertambah Income perkapita drastis menurun karena beberapa industri mulai
merampingkan tenaga-kerja atau mulai meliburkan tenaga kerja tanpa batas waktu.
Senada dengan hal itu investor-investor lokal dan Asing pun mulai menarik
saham dalam industri-industri di Indonesia. Dari kejadian kejadian itu akan
menjadikan peluang untuk Angka Kriminalitas akan melonjak naik Grafiknya di
tanah air belum lagi kasus-kasus korupsi terbaikan karena bangsa ini telah disibukkan
dengan masalah yang lebih di prioritaskan sehingga dengan bebasnya para
koruptor meneruskan aksinya ditiap jenjang. “Selamat buat para koruptor Anda
bisa keluar dari persembunyain untuk sementara Waktu”.
Memang
sangat ironis di satu sisi Indonesia yang dikenal sebagai negara Agraris tapi
disisi lain beberapa item bahan pokok masih mengandalkan hasil import dari
negara tetangga. Yah ini mungkin salah satu kelemahan dari bangsa kita bahkan
diri kita yang sebagai rakyat yang kurang berusaha secara profesional dalam
mengelola asset-asset yang ada dalam lahan-lahan indonesia. Lihat saja kekayaan
Alam Indonesia mulai dari hasil laut belum dapat dikelola dengan baik karena
Fasilitas-fasilitas nelayan kurang memadai sehingga negara-negara lain meraup
keuntungan dari hasil menangkap hasil laut dengan cara yang tidak fair.
Belum
lagi persediaan minyak yang semakin lama semakin menipis serta Tambang-tambang
Emas yang masih dikuasai negara asing. Jadi sangat disayangkan Punya Harta yang
sangat berlimpah ruah tapi tidak dapat dinikmati secara maksimal oleh bangsa
ini.
Jadi
memanglah pas ketika Ketua Presidium Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa
Nasional Indonesia (GMNI ) menyatakan bahwa Krisis ekonomi global telah
terjebak pada sistem kapitalisme internasional sehingga sampai saat ini
sepertinya tak ada persiapan jelas menghadapi krisis keuangan global yang
berawal dari runtuhnya industri keuangan di Amerika Serikat. Mereka yang krisis
kita yang “hancur-hancuran” seperti pada bursa saham sehingga menghentikan operasionalnya.
Dan
kesimpulannya Indonesia belum siap menghadapi Dampak Krisis Ekonomi Global yang
di motori oleh Negara Super itu. Mungkin dari beberapa uraian diatas dapat
memberi gambaran bahwa kita punya potensi menghadapi krisis ini jika kita
meningkatkan kesadaran sebagai masyarakat indonesia termasuk element pemerintah
berikut departement terkait untuk meningkat pengelolaan sumber daya
secara profesional sehingga bangsa ini menjadi produktif dalam penyediaan hasil
bumi dan dapat mandiri serta terbebas sebagai negara importir bahan pangan dan
minyak bumi terbesar yang akan membalikkan keadaan menjadi negara “Pengekspor
Terbesar”.
Indonesia dan Perekonomian
1. Ekonomi
Indonesia
Thomas
R. Rumbaugh, Division Chief IMF untuk kawasan Asia Pasifik, mengatakan performa
ekonomi RI selama kuartal 1/2009 dengan catatan laju PDB sebesar 4,4%, menjadi
salah satu pertanda kuatnya perekonomian Indonesia dalam situasi krisis. Beliau
mengungkapkan bahwa, dengan melihat itu, revisi ke atas proyeksi laju ekonomi
Indonesia, sekarang laju PDB dapat tumbuh pada kisaran 3%-4% tahun ini.
Dalam
laporan World Economic Outlook yang dirilis dana moneter Internasional itu pada
April, pertumbuhan ekonomi Indonesia 2009 diproyeksikan 2,5%, terendah
dibandingkan dengan proyeksi lembaga penelitian dan multilateral lain. Adapun
pemerintah Indonesia mematok proyeksi PDB tahun ini pada kisaran 4%-4,5%.
Menurut Rumbaugh, proyeksi baru IMF dibuat dalam kisaran karena masih ada
ketidakpastian dalam situasi perekonomian dunia.
Meski
begitu, dana moneter yang berbasis di Washington DC itu memperkirakan tekanan
inflasi 2009 di Indonesia akan terus moderat ke angka sekitar 5%. Di tengah
krisis ekonomi dunia, pemerintah dan bank sentral dinilai telah cukup berhasil
dalam melakukan langkah antisipasi dibandingkan dengan Negara-negara lain.
Dari
sisi kebijakan moneter dan nilai tukar, IMF menilai pemangkasan BI Rate 250
basis poin sejak Desember 2008 sebagai langkah yang tepat. Akan tetapi, dari
sisi fiskal dia mengingatkan pentingnya pemerintah menggenjot penyerapan
belanja langsung stimulus fiskal pada periode semester II/2009. Pasalnya,
kinerja ekonomi kuartal I yang cukup baik lebih didukung oleh faktor stimulus
pemotongan pajak yang telah terserap dan juga pemilu legislatif.
Syahrial Loetan, sekretaris
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Sestama Bappenas, menilai revisi proyeksi
laju PDB Indonesia oleh IMF menjadi lebih baik merupakan pertanda lembaga itu
menyadari kesalahan proyeksi sebelumnya.
Penguatan
arus dan masuk ke pasar modal ikut mengerek nilai tukar rupiah hingga menembus
level Rp9.000 atau menguat 21,5% dari posisi tertinggi pada November 2008 yang
mencapai Rp12.650 per dolar AS.
Penggerakan rupiah untuk
pertama kalinya sejak perdagangan Oktober 2008 terapresiasi melampaui Rp10.000
setelah IHSG menguat 8 hari berturut-turut ke level 2.078,93, atau mencetak
rekor kenaikan simultan terpanjang sejak periode bullish 2007.
Indeks secara kumulatif
mengumpulkan 187,96 poin atau naik 9,94% dalam 6 hari terakhir, kenaikan itu
lebih tinggi dari rally simultan terpanjang 29 Juni-10 Juli pada 2 tahun lalu
sebesar 143,1 poin (6,7%).
2. Ekonomi
Indonesia dan Demokrasi
Indonesia
saat ini, tulis Boediono, masih berada pada zona resiko tinggi untuk kehidupan
demokrasi. Hal ini terlihat dari segi pendapatan per kapitanya yang masih
kurang mendukung terselenggaranya demokrasi secara baik. Dengan pendapatan per
kapita sekitar US$3.987 (International Monetary Fund, 2008) GDP Purshasing
Power Parity (PPP) per kapita Indonesia masih berada bahkan di bawah
negara-negara seperti Vanuatu dan Fiji, Indonesia masih berada di zona rawan
dalam demokrasik. Kenapa? Menurut penelitian, batas kritis bagi kelangsungan
demokrasi di dunia adalah apabila pendapatan per kapita sebuah Negara mencapai
US$6.600.
Dari sebuah studi ekonomi dan
demokrasi, tercatat bahwa pada kurun 1950-1990, rezim demokrasi di
Negara-negara dengan penghasilan per kapita US$1.500 (dihitung berdasarkan PPP
tahun 2001) hanya mempunyai harapan hidup 8 tahun. Pada tingkat penghasilan per
kapita US$1.500-US$3.000, rezim demokrasi dapat bertahan rata-rata 18 tahun dan
pada tingkat pendapatan per kapita di atas US$6.000, daya hidup system
demokrasi di sebuah Negara jauh lebih besar dan probabilitas kegagalannya hanya
1:500.
Posisi
Indonesia
Dengan
pendapatan per kapita Indonesia yang diperkirakan sekitar US$4.000, dimana
batas krisis bagi demokrasi sekitar US$6.600, maka Indonesia belum mencapai 2/3
jalan menuju batasan bagi demokrasi.
Oleh
karena itu, menurut Boediono, pada tahap awal kehidupan demokrasi, Indonesia
sebaiknya memberikan prioritas tertinggi bagi upaya memacu pertumbuhan ekonomi
dan sejauh mungkin menghindari krisis.
Hal
ini akan sangat mengurangi resiko kegagalan demokrasi. Hal terbaik yang harus
dilakukan, kata Boediono, adalah secepatnya membangun perekonomian agar income
per kapita bangsa Indonesia mencapai batas aman bagi pemerintah demokrasi,
yaitu US$6.600.
Menurut Boediono, pertumbuhan
ekonomi akan membantu tumbuhnya kelompok pembaharu dengan catatan: pertama,
pertumbuhan itu menyentuh dan broad-based; dan kedua prosesnya mengandalkan
kegiatan berdasarkan hasil kerja, inisiatif, dan kekuatan sumber daya manusia
bukan dengan penjualan kekayaan alam, utang luar negeri, dan lainnya.
3. Indonesia Cepat
Lalui Krisis
Menurut
Institute for Management Development (IMD), lembaga think thank dan
pendidikan yang berpusat di Swiss, Indonesia seperti Negara-negara lain di Asia
Tenggara, memiliki daya tahan yang cukup baik. Indonesia juga dianggap memiliki
kemampuan untuk pulih dengan cepat karena telah mengalami krisis keuangan cukup
parah pada 1997/1998 sehingga lebih baik dalam mengantisipasi krisis saat ini.
IMD
mengatakan bahwa, Negara-negara seperti itu seringkali mampu untuk beradaptasi
dan pulih pada masa sulit. Penjelasan lain adalah karena mereka telah mengalami
krisis keuangan cukup parah dan krisis properti satu decade lalu dan jadi lebih
waspada dalam kebijakannya.
Stress
test versi IMD merupakan
analisis untuk mengukur sejauh mana Negara dapat melalui krisis dan memperbaiki
daya saingnya pada masa depan. Analisis dengan cakupan survey 57 negara itu
mengambil Indikator proyeksi ekonomi, pemerintah, bisnis, dan masyarakat
sebagai basis penilaiannya. Dari empat faktor yang dinilai dalam stress test,
daya tahan Indonesia untuk indikator pemerintah berada di peringkat-26. Adapun
indikator lain seperti proyeksi ekonomi, bisnis dan masyarakat, masing-masing
masuk ke posisi 33,36, dan 33.
Mentri
Koordinator bidang Perekonomian Sri Mulyani Indrawati optimis peringkat stress test Indonesia
akan lebih baik pada tahun depan karena survey IMD dilakukan terhadap indicator
ekonomi sepanjang 2008, ketika negeri ini masih diliputi dampak krisis cukup
parah. Kenyataannya, katanya, kinerja perekonomian pada kuartal I/2009 dan
proyeksi ekonomi RI sepanjang tahun ini lebih baik dibandingkan dengan
Megara-negara lain.
Perekonomian
Indonesia pada kuartal II/2009 diproyeksi sedikit melambat dibandingkan dengan
kuartal sebelumnya, kendati secara tahunan diyakini masih akan tumbuh 4%.
Direktur Perencanaan Makro Kemeneg PPN/Kepala Bappenas Bambang Prijambodo
secara pribadi meyakini pertumbuhan ekonomi pada kuartal II/2009 masih akan
positif meski tidak sebesar realisasi kuartal I/2009 yang mencapai 1,6%. Secara
tahunan (year-on-year) juga demikian, dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi kuartal
I/2009 yang sebesar 4,4%, kemungkinan realisasi pada kuartal II/2009 lebih
rendah di kisaran 4,4%. Konsumsi masyarakat masih akan menjadi pendorong utama
dari pertumbuhan ekonomi kuartal II/2009 yang masih terjaga dengan adanya
laksana pemilihan umum. Ekonom Indef Ikhsan Modjo, mengatakan pertumbuhan
ekonomi kuartal II/2009 kemungkinan akan turun sedikit karena ekspor dan
investasi masih lemah.
4. Kebijakan
Moneter Belum Cukup Longgar
Seiring
dengan semakin terkendalinya tekanan inflasi, BI sudah menurunkan bunga
acuannya dengan agresif. Pada November 2008, suku bungan acuan BI masih di
level 9,5 persen. Bulan Juni ini suku bunga acuan BI sudah turun ke 7 persen.
Ini adalah level terendah dalam sejarah suku bunga acuan BI. Sudah barang tentu
langkah BI menurunkan suku bunga dengan agresif tersebut disambut baik oleh
banyak pihak.
Penurunan suku bunga acuan BI
diperkirakan akan diikuti oleh bunga-bunga yang lain, termasuk bunga pinjaman.
Namun, harapan itu tak kunjung terwujud. Banyak kalangan yang merasa kecewa
melihat kenyataan yang ada. Suku bunga pinjaman tidak turun secepat yang
diharapkan.
Dengan
suku bunga acuan BI pada level 7 persen, seharusnya suku bunga pinjaman berada
pada kisaran 11,9-12 persen. Angka suku bunga pinjaman itu dihitung berdasarkan
respons sistem perbankan negeri ini terhadap kebijakan moneter BI periode
2006-2008. Saat ini bunga pinjaman masih ada yang bertahan di atas 16 persen.
Dampak
dari belum turunnya bunga pinjaman secara signifikan, sector riil kita menjerit
meminta suku bunga pinjaman diturunkan dengan segera. Memang bunga yang tinggi
membuat biaya bunga (cost of capital) menjadi tinggi. Hal ini juga membuat produk domestic sulit
bersaing dengan produk Negara-negara lain yang bunga pinjamannya jauh lebih
rendah dari bunga pinjaman disini. Daya saing produk kita pun tergerus dan
sector manufaktur kita menjadi sulit untuk tumbuh lebih cepat.
Di
Indonesia, misalnya, BI mengurangi monetary base dengan cara menerbitkan sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Penerbitan SBI akan mengurangi uang dari system perekonomian kita karena bank
yang membeli SBI akan menyetorkan uang ke BI sebesar SBI yang dibelinya. Uang
yang diterima BI tersebut akan disimpan di BI sehingga ada uang yang menjadi
tidak dapat digunakan oleh perbankan kita. Suplai uang di system financial kita
pun menjadi berkurang.
Bila dilihat dari suku bunga
saja, BI memang tampak agresif melonggarkan kebijakan moneternya. Namun, kalau
dilihat dari sisi suplai uang, kebijakan moneter BI sebenarya masih kurang
ekspansif. Hal itu diperlihatkan dari monetary
base yang tidak tumbuh, bahkan
pertumbuhannya negative dalam beberapa bulan terakhir ini. Itu berarti BI tidak
memompa cukup uang ke system agar suplai uang meningkat.
Salah
satu penyebab terjadinya pertumbuhan monetary
base negative adalah
terjadinya arus modal keluar pada Oktober 2008 yang menyebabkan rupiah melemah
secara signifikan waktu itu. Tampaknya BI melakukan intervensi dengan menjual
dollarnya atau menyerap rupiah dari pasar. Hal ini mengakibatkan berkurangnya
suplai uang di system finansial kita. Kenaikan itu diperburuk pula oleh
kenaikan SBI outstanding (total jumlah SBI yang ada) sejak Oktober 2008, yang berarti
BI menarik likuiditas dari system finansial kita lebih banyak lagi.
SBI outstanding terus
mengalami kenaikan sejak saat itu. Pada September 2008 SBI outstanding berjumlah
sekitar Rp 116 Triliun. Pada Juni 2009, SBI outstanding sudah
naik menjadi sekitar Rp. 239 triliun. Pada saat bersamaan, keterlambatan
realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) juga turut memperburuk
keadaan. Akibatnya, pendapatan pemerintah dari pajak ataupun dari surat utang
Negara (SUN) tertahan di BI.
Pada
Januari 2009 jumlah uang pemerintah di rekening pemerintah di BI Rp. 104
triliun. Jumlah ini meningkat menjadi Rp. 187 triliun yang ditarik keluar dari
system finansial kita pada periode tersebut.
5. Sektor
Perbankan
Direktur
Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia Halim Alamsyah
mengatakan angka sementara kredit bulan kelima tahun ini menunjukkan
tanda-tanda kenaikan walaupun belum secepat tahun lalu. Berdasarkan
catatan bisnis, Halim pernah menyampaikan pertumbuhan kredit dalam 4 bulan
pertama tahun ini hanya naik Rp.5 triliun. Artinya dalam sebulan realisasi
kredit perbankan rata-rata hanya naik Rp. 1,25 triliun.
Dengan realisasi kredit Mei
sebesar Rp.3 triliun berarti ada peningkatan hamper tiga kali lipat
dibandingkan dengan rata-rata 4 bulan sebelumnya, sehingga pembiayaan perbankan
dalam 5 bulan ini tumbuh sekitar Rp. 8 triliun.
Total
kredit perbankan hingga Mei menjadi Rp. 1.361,6 triliun—termasuk pembiayaan
penerusan. Namun, angka itu masih tercatat menurun jika dibandingkan dengan
posisi November 2008 yang pernah mencapai titik puncak sebesar Rp. 1.371,9
triliun.
Halim
menyampaikan kondisi likuiditas perbankan masih belum banyak berubah
dibandingkan dengan posisi April, tapi secara tahunan dana pihak ketiga masih
tumbuh 17%-18%.
Dengan pertumbuhan sebesar 18% apabila dibandingkan dengan posisi Mei 2008
sebesar Rp. 1.505,6 triliun, dana pihak ketiga perbankan saat ini menjadi Rp.
1.776,6 triliun. Namun angka itu menyusut jika dibandingkan Maret 2008 yang
sebesar Rp. 1.786 triliun.
6. Rasio
Utang RI Turun 30%
Pada
1999 rasio utang Indonesia 100% karena saat itu pemerintah harus mengeluarkan
surat utang baru sekitar Rp. 600 triliun untuk menyelamatkan perbankan
nasional. Setelah itu rasio terus menurun. Menkeu mengatakan bahwa, semua
pemerintahan, mulai dari Presiden Habibi, Gusdur, Ibu Megawati, hingga sekarang
memiliki kebijakan yang sama, menurunkan rasio utang-utang.
Tahun
2003, rasio utang Indonesia terhadap PDB 61%, memasuki 2008 menjadi 33%
terhadap PDB, dan tahun ini pemerintah berniat menurunkan menjadi 32%. Total
utang pemerintah Indonesia saat ini hingga 29 Mei 2009 mencapai Rp. 1.700
triliun, yakni pinjaman luar negeri Rp. 732 triliun dan surat berharga Negara
(SBN) Rp. 968 triliun, yaitu pinjaman luar negeri Rp. 730 triliun dan SBN Rp.
906 triliun.
Menurut kepala Devisi Advokasi
dan Jaringan dari Forum Lembaga Swadaya Masyarakat Internasional di Indonesia,
“Wahyu Susilo”.
SUMBER
: