Pages

Rabu, 24 Juli 2013

PEREKONOMIAN GLOBAL

Globalisasi adalah keterkaitan dan ketergantungan antar bangsa dan antar manusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi semakin sempit.
Globalisasi adalah suatu proses di mana antar individu, antar kelompok, dan antar negara saling berinteraksi, bergantung, terkait, dan memengaruhi satu sama lain yang melintasi batas negara
Dalam banyak hal, globalisasi mempunyai banyak karakteristik yang sama dengan internasionalisasi sehingga kedua istilah ini sering dipertukarkan. Sebagian pihak sering menggunakan istilah globalisasi yang dikaitkan dengan berkurangnya peran negara atau batas-batas negara.
Pengertian
Menurut asal katanya, kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal. Achmad Suparman menyatakan Globalisasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekedar definisi kerja (working definition), sehingga bergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.
Di sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuk yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti budaya dan agama. Theodore Levitte merupakan orang yang pertama kali menggunakan istilah Globalisasi pada tahun 1985.
Jan Aart Scholte melihat bahwa ada beberapa definisi yang dimaksudkan orang dengan globalisasi:
  • Internasionalisasi: Globalisasi diartikan sebagai meningkatnya hubungan internasional. Dalam hal ini masing-masing negara tetap mempertahankan identitasnya masing-masing, namun menjadi semakin tergantung satu sama lain.
  • Liberalisasi: Globalisasi juga diartikan dengan semakin diturunkankan batas antar negara, misalnya hambatan tarif ekspor impor, lalu lintas devisa, maupun migrasi.
  • Universalisasi: Globalisasi juga digambarkan sebagai semakin tersebarnya hal material maupun imaterial ke seluruh dunia. Pengalaman di satu lokalitas dapat menjadi pengalaman seluruh dunia.
  • Westernisasi: Westernisasi adalah salah satu bentuk dari universalisasi dengan semakin menyebarnya pikiran dan budaya dari barat sehingga mengglobal.
  • Hubungan transplanetari dan suprateritorialitas: Arti kelima ini berbeda dengan keempat definisi di atas. Pada empat definisi pertama, masing-masing negara masih mempertahankan status ontologinya. Pada pengertian yang kelima, dunia global memiliki status ontologi sendiri, bukan sekadar gabungan negara-negara. [1]
Ciri globalisasi
Berikut ini beberapa ciri yang menandakan semakin berkembangnya fenomena globalisasi di dunia :
  • Perubahan dalam Konstantin ruang dan waktu. Perkembangan barang-barang seperti telepon genggam, televisi satelit, dan internet menunjukkan bahwa komunikasi global terjadi demikian cepatnya, sementara melalui pergerakan massa semacam turisme memungkinkan kita merasakan banyak hal dari budaya yang berbeda.
  • Pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan internasional, peningkatan pengaruh perusahaan multinasional, dan dominasi organisasi semacam World Trade Organization (WTO).
  • Peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa (terutama televisi, film, musik, dan transmisi berita dan olah raga internasional). saat ini, kita dapat mengonsumsi dan mengalami gagasan dan pengalaman baru mengenai hal-hal yang melintasi beraneka ragam budaya, misalnya dalam bidang fashion, literatur, dan makanan.
  • Meningkatnya masalah bersama, misalnya pada bidang lingkungan hidup, krisis multinasional, inflasi regional dan lain-lain.
Kennedy dan Cohen menyimpulkan bahwa transformasi ini telah membawa kita pada globalisme, sebuah kesadaran dan pemahaman baru bahwa dunia adalah satu. Giddens menegaskan bahwa kebanyakan dari kita sadar bahwa sebenarnya diri kita turut ambil bagian dalam sebuah dunia yang harus berubah tanpa terkendali yang ditandai dengan selera dan rasa ketertarikan akan hal sama, perubahan dan ketidakpastian, serta kenyataan yang mungkin terjadi. Sejalan dengan itu, Peter Drucker menyebutkan globalisasi sebagai zaman transformasi sosial.




Globalisasi perekonomian
Globalisasi perekonomian merupakan suatu proses kegiatan ekonomi dan perdagangan, dimana negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi dengan tanpa rintangan batas teritorial negara. Globalisasi perekonomian mengharuskan penghapusan seluruh batasan dan hambatan terhadap arus modal, barang dan jasa.
Ketika globalisasi ekonomi terjadi, batas-batas suatu negara akan menjadi kabur dan keterkaitan antara ekonomi nasional dengan perekonomian internasional akan semakin erat. Globalisasi perekonomian di satu pihak akan membuka peluang pasar produk dari dalam negeri ke pasar internasional secara kompetitif, sebaliknya juga membuka peluang masuknya produk-produk global ke dalam pasar domestik.
Menurut Tanri Abeng, perwujudan nyata dari globalisasi ekonomi antara lain terjadi dalam bentuk-bentuk berikut:
  • Globalisasi produksi, di mana perusahaan berproduksi di berbagai negara, dengan sasaran agar biaya produksi menajdi lebih rendah. Hal ini dilakukan baik karena upah buruh yang rendah, tarif bea masuk yang murah, infrastruktur yang memadai ataupun karena iklim usaha dan politik yang kondusif. Dunia dalam hal ini menjadi lokasi manufaktur global.
  • Globalisasi pembiayaan. Perusahaan global mempunyai akses untuk memperoleh pinjaman atau melakukan investasi (baik dalam bentuk portofolio ataupun langsung) di semua negara di dunia. Sebagai contoh, PT Telkom dalam memperbanyak satuan sambungan telepon, atau PT Jasa Marga dalam memperluas jaringan jalan tol telah memanfaatkan sistem pembiayaan dengan pola BOT (build-operate-transfer) bersama mitrausaha dari manca negara.
  • Globalisasi tenaga kerja. Perusahaan global akan mampu memanfaatkan tenaga kerja dari seluruh dunia sesuai kelasnya, seperti penggunaan staf profesional diambil dari tenaga kerja yang telah memiliki pengalaman internasional atau buruh kasar yang biasa diperoleh dari negara berkembang. Dengan globalisasi maka human movement akan semakin mudah dan bebas.
  • Globalisasi jaringan informasi. Masyarakat suatu negara dengan mudah dan cepat mendapatkan informasi dari negara-negara di dunia karena kemajuan teknologi, antara lain melalui: TV,radio,media cetak dll. Dengan jaringan komunikasi yang semakin maju telah membantu meluasnya pasar ke berbagai belahan dunia untuk barang yang sama. Sebagai contoh : KFC, celana jeans levi's, atau hamburger melanda pasar dimana-mana. Akibatnya selera masyarakat dunia -baik yang berdomisili di kota ataupun di desa- menuju pada selera global.
  • Globalisasi Perdagangan. Hal ini terwujud dalam bentuk penurunan dan penyeragaman tarif serta penghapusan berbagai hambatan nontarif. Dengan demikian kegiatan perdagangan dan persaingan menjadi semakin cepat, ketat, dan adil.
Thompson mencatat bahwa kaum globalis mengklaim saat ini telah terjadi sebuah intensifikasi secara cepat dalam investasi dan perdagangan internasional. Misalnya, secara nyata perekonomian nasional telah menjadi bagian dari perekonomian global yang ditengarai dengan adanya kekuatan pasar dunia.
Dampak Positif Globalisasi Ekonomi
  • Produksi global dapat ditingkatkan
Pandangan ini sesuai dengan teori 'Keuntungan Komparatif' dari David Ricardo. Melalui spesialisasi dan perdagangan faktor-faktor produksi dunia dapat digunakan dengan lebih efesien, output dunia bertambah dan masyarakat akan memperoleh keuntungan dari spesialisasi dan perdagangan dalam bentuk pendapatan yang meningkat, yang selanjutnya dapat meningkatkan pembelanjaan dan tabungan.
  • Meningkatkan kemakmuran masyarakat dalam suatu negara
Perdagangan yang lebih bebas memungkinkan masyarakat dari berbagai negara mengimpor lebih banyak barang dari luar negeri. Hal ini menyebabkan konsumen mempunyai pilihan barang yang lebih banyak. Selain itu, konsumen juga dapat menikmati barang yang lebih baik dengan harga yang lebih rendah.
  • Meluaskan pasar untuk produk dalam negeri
Perdagangan luar negeri yang lebih bebas memungkinkan setiap negara memperoleh pasar yang jauh lebih luas dari pasar dalam negeri.
  • Dapat memperoleh lebih banyak modal dan teknologi yang lebih baik
Modal dapat diperoleh dari investasi asing dan terutama dinikmati oleh negara-negara berkembang karena masalah kekurangan modal dan tenaga ahli serta tenaga terdidik yang berpengalaman kebanyakan dihadapi oleh negara-negara berkembang.
  • Menyediakan dana tambahan untuk pembangunan ekonomi
Pembangunan sektor industri dan berbagai sektor lainnya bukan saja dikembangkan oleh perusahaan asing, tetapi terutamanya melalui investasi yang dilakukan oleh perusahaan swasta domestik. Perusahaan domestik ini seringkali memerlukan modal dari bank atau pasar saham. dana dari luar negeri terutama dari negara-negara maju yang memasuki pasar uang dan pasar modal di dalam negeri dapat membantu menyediakan modal yang dibutuhkan tersebut.


Dampak Negatif Globalisasi Ekonomi
  • Menghambat pertumbuhan sektor industri
Salah satu efek dari globalisasi adalah perkembangan sistem perdagangan luar negeri yang lebih bebas. Perkembangan ini menyebabkan negara-negara berkembang tidak dapat lagi menggunakan tarif yang tingi untuk memberikan proteksi kepada industri yang baru berkembang (infant industry). Dengan demikian, perdagangan luar negeri yang lebih bebas menimbulkan hambatan kepada negara berkembang untuk memajukan sektor industri domestik yang lebih cepat. Selain itu, ketergantungan kepada industri-industri yang dimiliki perusahaan multinasional semakin meningkat.
  • Memperburuk neraca pembayaran
Globalisasi cenderung menaikkan barang-barang impor. Sebaliknya, apabila suatu negara tidak mampu bersaing, maka ekspor tidak berkembang. Keadaan ini dapat memperburuk kondisi neraca pembayaran. Efek buruk lain dari globaliassi terhadap neraca pembayaran adalah pembayaran neto pendapatan faktor produksi dari luar negeri cenderung mengalami defisit. Investasi asing yang bertambah banyak menyebabkan aliran pembayaran keuntungan (pendapatan) investasi ke luar negeri semakin meningkat. Tidak berkembangnya ekspor dapat berakibat buruk terhadap neraca pembayaran.
  • Sektor keuangan semakin tidak stabil
Salah satu efek penting dari globalisasi adalah pengaliran investasi (modal) portofolio yang semakin besar. Investasi ini terutama meliputi partisipasi dana luar negeri ke pasar saham. Ketika pasar saham sedang meningkat, dana ini akan mengalir masuk, neraca pembayaran bertambah bak dan nilai uang akan bertambah baik. Sebaliknya, ketika harga-harga saham di pasar saham menurun, dana dalam negeri akan mengalir ke luar negeri, neraca pembayaran cenderung menjadi bertambah buruk dan nilai mata uang domestik merosot. Ketidakstabilan di sektor keuangan ini dapat menimbulkan efek buruk kepada kestabilan kegiatan ekonomi secara keseluruhan.
  • Memperburuk prospek pertumbuhan ekonomi jangka panjang
Apabila hal-hal yang dinyatakan di atas berlaku dalam suatu negara, maka dlam jangka pendek pertumbuhan ekonominya menjadi tidak stabil. Dalam jangka panjang pertumbuhan yang seperti ini akan mengurangi lajunya pertumbuhan ekonomi. Pendapatan nasional dan kesempatan kerja akan semakin lambat pertumbuhannya dan masalah pengangguran tidak dapat diatasi atau malah semakin memburuk. Pada akhirnya, apabila globalisasi menimbulkan efek buruk kepada prospek pertumbuhan ekonomi jangka panjang suatu negara, distribusi pendapatan menjadi semakin tidak adil dan masalah sosial-ekonomi masyarakat semakin bertambah buruk.



Penyebab Krisis Ekonomi Global

Ditengah dinamika ekonomi global yang terus-menerus berubah dengan akselerasi yang semakin tinggi sebagaimana digambarkan di atas, Indonesia mengalami terpaan badai krisis yang intensitasnya telah sampai pada keadaan yang nyaris menuju kebangkrutan ekonomi.
Krisis ekonomi – yang dipicu oleh krisis moneter – beberapa waktu yang lalu, paling tidak telah memberikan indikasi yang kuat terhadap tiga hal. Pertama, kredibilitas pemerintah telah sampai pada titik nadir. Penyebab utamanya adalah karena langkah-langkah yang ditempuh pemerintah dalam merenspons krisis selama ini lebih bersifat “tambal-sulam”, ad-hoc, dan cenderung menempuh jalan yang berputar-putar.
Selain itu, seluruh sumber daya yang dimiliki negeri ini dicurahkan sepenuhnya untuk menyelamatkan sektor modern dari titik kehancuran. Sementara itu, sektor tradisional, sektor informal, dan ekonomi rakyat, yang juga memiliki eksistensi di negeri ini seakan-akan dilupakan dari wacana penyelamatan perekonomian yang tengah menggema.
Kedua, rezim Orde Baru yang selalu mengedepankan pertumbuhan (growth) ekonomi telah menghasilkan crony capitalism yang telah membuat struktur perekonomian menjadi sangat rapuh terhadap gejolak-gejolak eksternal. Industri manufaktur yang sempat dibanggakan itu ternyata sangat bergantung pada bahan baku impor dan tak memiliki daya tahan. Sementara itu, akibat “dianak-tirikan”, sektor pertanian pun juga tak kunjung mature sebagai penopang laju industrialisasi. Yang saat itu terjadi adalah derap industrialisasi melalui serangkaian kebijakan yang cenderung merugikan sektor pertanian. Akibatnya, sektor pertanian tak mampu berkembang secara sehat dalam merespons perubahan pola konsumsi masyarakat dan memperkuat competitive advantage produk-produk ekspor Indonesia.
Salah satu faktor terpenting yang bisa menjelaskan kecenderungan di atas adalah karena proses penyesuaian ekonomi dan politik (economic and political adjustment) tidak berlangsung secara mulus dan alamiah. Soeharto-style state-assisted capitalism nyata-nyata telah merusak dan merapuhkan tatanan perekonomian. Memang di satu sisi pertumbuhan ekonomi yang telah dihasilkan cukup tinggi, namun mengakibatkan ekses yang ujung-ujungnya justru counter productive bagi pertumbuhan yang berkelanjutan.
Ketiga, rezim yang sangat korup telah membuat sendi-sendi perekonomian mengalami kerapuhan. Secara umum, segala bentuk korupsi akan mengakibatkan arah alokasi sumber daya perekonomian menjurus pada kegiatan-kegiatan yang tidak produktif dan tidak memberikan hasil optimum. Dalam kondisi seperti ini pertumbuhan ekonomi memang sangat mungkin terus berlangsung, bahkan pada intensitas yang relatif tinggi. Namun demikian, sampai pada batas tertentu pasti akan mengakibatkan melemahnya basis pertumbuhan.
Selanjutnya, praktik-praktik korupsi secara perlahan C tapi pasti C telah merusak tatanan ekonomi dan pembusukan politik yang disebabkan oleh perilaku penguasa, elit politik, dan jajaran birokrasi. Keadaan semakin parah ketika jajaran angkatan bersenjata dan aparat penegak hukum pun ternyata juga turut terseret ke dalam jaringan praktik-praktik korupsi itu.
Hancurnya kredibilitas pemerintah yang dibarengi dengan tingginya ketidakpastian itu telah menyebabkan terkikisnya kepercayaan (trust). Yang terjadi dewasa ini tidak hanya sekadar pudarnya trust masyarakat terhadap pemerintah dan sebaliknya, melainkan juga antara pihak luar negeri dengan pemerintah, serta di antara sesama kelompok masyarakat.
Yang terakhir disebutkan itu tercermin dengan sangat jelas dari keberingasan massa terhadap simbol-simbol kekuasaan serta kemewahan dan terhadap kelompok etnis Cina, seperti yang dikenal dengan peristiwa Mei 1998.
Sementara itu, krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dapat dilihat dari respons masyarakat yang kerap kali berlawanan dengan tujuan kebijakan yang ditempuh pemerintah. Misalnya, kebijakan pemerintah yang seharusnya berupaya menggiring ekspektasi masyarakat ke arah kanan, justru telah menimbulkan respons masyarakat menuju ke arah kiri, dan sebaliknya. Faktor lainnya adalah semakin timpangnya distribusi pendapatan dan kekayaan, sehingga mengakibatkan lunturnya solidaritas sosial.

Dampak Yang Ditimbulkan Oleh Krisis Ekonomi Global

1.      Dampak Perekonomian Global terhadap APBNP 2008
Asumsi inflasi dalam APBNP 2008 yang ditetapkan sebesar 6,5%, menurut Adiningsih (Ekonom dari Universitas Gajah Mada) dalam harian Suara Karya (16/4-08), dapat melebihi 10% akibat tekanan berat dari kondisi perekonomian global yang berada di luar kendali pemerintah. Adiningsih mengemukakan bahwa seharusnya pemerintah menyusun APBN secara konsevatif , karena apabila APBN dirubah terus, tentu akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat. Dia juga mengungkapkan bahwa dunia usaha juga tergantung pada pengelolaan dan realisasi APBN. Apabila APB tidak konsisten, dipastikan dunia usaha akan sulit tumbuh, sehinga sulit diharapkan pertumbuhan ekonomi yang tiggi. Mengenai besaran asumsi inflasi dalam APBNP, menurutnya tidak masuk akal, karena pada akhir tahun 208 terdapat beberapa hari raya yang sudah pasti akan memicu inflasi lebih tinggi. Disamping itu harga minyak mentah yang masih akan melambung dan harga pangan dunia yang meroket. Hal ini akan mempengaruhi harga komoditias di dalam negeri. Tidak semua komoditas dapat dikendalikan oleh pemerintah. Tambahan lagi, banyak barang impor termasuk yang illegal masuk ke ke pasar Indonesia. Hinga akhir tahun ini diperkirakan gejolak pasar Keuangan dunia belum akan reda. Seandainya Amerika Serikat meningkatkan suku bunga kredit, akan berdampak terhadap Indonesia dan dikhawatirkan inflasi akan melebihi satudigit.
Dalam menghadapi situasi perekonomian global yang tidak pasti, Raden Pardede (salah satu calon gubernur BI yang ditolak DPR) mengemukakan pendapatnya bahwa pemerintah harus membatasi besaran anggaran untuk subsidi. Menurutnya, dengan asumsi harga minyak mentah sebesar US$ 95 per barel, total subsidi mencapai sekitar Rp 33 triliun. Jika harga minyak ternyata lebih dri U$$ 100 per barel, diperkirakan lebih dari 30% anggaran belanja habis untuk subsidi, bagaimana dengan sektro yang lain, katanya.
Berkaitan dengan kekurangan dana dalam APBN pasti dicarikan melalui pembiayaan yang salah satunya adalah dengan penerbitan Suat Utang Negara (SUN) disesuaikan dengan melihat kemampuan pasar untuk menyerapnya. Tetapi, jika subsidi tidak dibatasi, investor akan khawatir mengnenai kemampuan negara dalam melakukan pembayaran. Hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian dan rendahnya daya serap SUN.
Pendapat dari kedua pengamat ekonomi tersebut perlu diperhatikan sebagai informasi untuk mewaspadai bahwa kondisi perkonomian dunia yang saat ini sedang bergolak penuh ketidak pastian akan berdampak terhadap tingkat inflasi, alokasi anggaran untuk subsidi dan daya serap SUN untuk pembiayaan deficit APBN. Namun demikian, apabila dalam perjalanannya asumsi-asumsi dalam APBNP 2008 meleset jauh dari kenyataan, pengamat ekonomi tidak seharusnya semata-mata menyalahkan pemerintah, karena APBN-P 2008 tersebut merupakan hasil pembahasan dan kesepakatan antara pemerintah dengan DPR. Tambahan lagi, jika asumsi dalam APBNP tidak sesuai lagi dengan perkembangan kondisi perekonomian, mau tidak mau APBNP 2008 harus direvisi kembali.

Cara Mengatasi Krisis Ekonomi Global

Mengatasi Penyebab dan Dampak Krisis Ekonomi Global masih menjadi berita hangat tanpa melewati satu hari pun dalam bulan-bulan terakhir ini. Berbicara krisis ekonomi adalah bukan berbicara tentang nasib satu orang bahkan lebih dari itu semua karena ini menyangkut nasib sebuah bangsa. Berbagai argument dan komentar pun dilontarkan di berbagai media yang selalu memojokkan pemerintahan Yudhoyono dan BI (Bank Indonesia) Di salah satu media menyatakan bahwa Presiden Yudhoyono menyampaikan 10 langkah untuk menghadapi masalah tersebut. Empat di antaranya :
1. Meningkatkan penggunaan produksi dalam negeri
2. Memanfaatkan peluang perdagangan internasional
3. Menyatukan langkah strategis Pemerintah dengan Bank Indonesia (BI)
4. Menghindari politik non partisan untuk menghadapi krisis.
Kedengarannya memang masuk akal tapi untuk menghadapi krisis itu bukanlah semata adalah tugas pemerintah dan Bank Indonesia tapi badai krisis ini perlu dihadapi bersama jangan sampai kejadian Krisis Ekonomi Global Part II ini lebih dahsyat meluluh-lantakkan Perekonomian Indonesia seperti yang telah terladi pada Badai Krisis Moneter Part I di Era Soeharto.
Sadar atau pun tidak sadar Akibat Krisis Ekonomi Global kali in sudah sangat jauh merambah dalam berbagai strata masyarakat. Dimana-mana pengangguran semakin bertambah Income perkapita drastis menurun karena beberapa industri mulai merampingkan tenaga-kerja atau mulai meliburkan tenaga kerja tanpa batas waktu. Senada dengan hal itu investor-investor lokal dan Asing pun mulai  menarik saham dalam industri-industri di Indonesia. Dari kejadian kejadian itu akan menjadikan peluang untuk Angka Kriminalitas akan melonjak naik Grafiknya di tanah air belum lagi kasus-kasus korupsi terbaikan karena bangsa ini telah disibukkan dengan masalah yang lebih di prioritaskan sehingga dengan bebasnya para koruptor meneruskan aksinya ditiap jenjang. “Selamat buat para koruptor Anda bisa keluar dari persembunyain untuk sementara Waktu”.
Memang sangat ironis di satu sisi Indonesia yang dikenal sebagai negara Agraris tapi disisi lain beberapa item bahan pokok masih mengandalkan hasil import dari negara tetangga. Yah ini mungkin salah satu kelemahan dari bangsa kita bahkan diri kita yang sebagai rakyat yang kurang berusaha secara profesional dalam mengelola asset-asset yang ada dalam lahan-lahan indonesia. Lihat saja kekayaan Alam Indonesia mulai dari hasil laut belum dapat dikelola dengan baik karena Fasilitas-fasilitas nelayan kurang memadai sehingga negara-negara lain meraup keuntungan dari hasil menangkap hasil laut dengan cara yang tidak fair.
Belum lagi persediaan minyak yang semakin lama semakin menipis serta Tambang-tambang Emas yang masih dikuasai negara asing. Jadi sangat disayangkan Punya Harta yang sangat berlimpah ruah tapi tidak dapat dinikmati secara maksimal oleh bangsa ini.
Jadi memanglah pas ketika Ketua Presidium Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI ) menyatakan bahwa Krisis ekonomi global telah terjebak pada sistem kapitalisme internasional sehingga sampai saat ini sepertinya tak ada persiapan jelas menghadapi krisis keuangan global yang berawal dari runtuhnya industri keuangan di Amerika Serikat. Mereka yang krisis kita yang “hancur-hancuran” seperti pada bursa saham sehingga menghentikan operasionalnya.
Dan kesimpulannya Indonesia belum siap menghadapi Dampak Krisis Ekonomi Global yang di motori oleh Negara Super itu. Mungkin dari beberapa uraian diatas dapat memberi gambaran bahwa kita punya potensi menghadapi krisis ini jika kita meningkatkan kesadaran sebagai masyarakat indonesia termasuk element pemerintah berikut departement terkait untuk meningkat pengelolaan sumber daya secara profesional sehingga bangsa ini menjadi produktif dalam penyediaan hasil bumi dan dapat mandiri serta terbebas sebagai negara importir bahan pangan dan minyak bumi terbesar yang akan membalikkan keadaan menjadi negara “Pengekspor Terbesar”.

Indonesia dan Perekonomian

1. Ekonomi Indonesia
Thomas R. Rumbaugh, Division Chief IMF untuk kawasan Asia Pasifik, mengatakan performa ekonomi RI selama kuartal 1/2009 dengan catatan laju PDB sebesar 4,4%, menjadi salah satu pertanda kuatnya perekonomian Indonesia dalam situasi krisis. Beliau mengungkapkan bahwa, dengan melihat itu, revisi ke atas proyeksi laju ekonomi Indonesia, sekarang laju PDB dapat tumbuh pada kisaran 3%-4% tahun ini.
Dalam laporan World Economic Outlook yang dirilis dana moneter Internasional itu pada April, pertumbuhan ekonomi Indonesia 2009 diproyeksikan 2,5%, terendah dibandingkan dengan proyeksi lembaga penelitian dan multilateral lain. Adapun pemerintah Indonesia mematok proyeksi PDB tahun ini pada kisaran 4%-4,5%. Menurut Rumbaugh, proyeksi baru IMF dibuat dalam kisaran karena masih ada ketidakpastian dalam situasi perekonomian dunia.
Meski begitu, dana moneter yang berbasis di Washington DC itu memperkirakan tekanan inflasi 2009 di Indonesia akan terus moderat ke angka sekitar 5%. Di tengah krisis ekonomi dunia, pemerintah dan bank sentral dinilai telah cukup berhasil dalam melakukan langkah antisipasi dibandingkan dengan Negara-negara lain.
Dari sisi kebijakan moneter dan nilai tukar, IMF menilai pemangkasan BI Rate 250 basis poin sejak Desember 2008 sebagai langkah yang tepat. Akan tetapi, dari sisi fiskal dia mengingatkan pentingnya pemerintah menggenjot penyerapan belanja langsung stimulus fiskal pada periode semester II/2009. Pasalnya, kinerja ekonomi kuartal I yang cukup baik lebih didukung oleh faktor stimulus pemotongan pajak yang telah terserap dan juga pemilu legislatif.
Syahrial Loetan, sekretaris Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Sestama Bappenas, menilai revisi proyeksi laju PDB Indonesia oleh IMF menjadi lebih baik merupakan pertanda lembaga itu menyadari kesalahan proyeksi sebelumnya.
Penguatan arus dan masuk ke pasar modal ikut mengerek nilai tukar rupiah hingga menembus level Rp9.000 atau menguat 21,5% dari posisi tertinggi pada November 2008 yang mencapai Rp12.650 per dolar AS.
Penggerakan rupiah untuk pertama kalinya sejak perdagangan Oktober 2008 terapresiasi melampaui Rp10.000 setelah IHSG menguat 8 hari berturut-turut ke level 2.078,93, atau mencetak rekor kenaikan simultan terpanjang sejak periode bullish 2007.
Indeks secara kumulatif mengumpulkan 187,96 poin atau naik 9,94% dalam 6 hari terakhir, kenaikan itu lebih tinggi dari rally simultan terpanjang 29 Juni-10 Juli pada 2 tahun lalu sebesar 143,1 poin (6,7%).

2. Ekonomi Indonesia dan Demokrasi
Indonesia saat ini, tulis Boediono, masih berada pada zona resiko tinggi untuk kehidupan demokrasi. Hal ini terlihat dari segi pendapatan per kapitanya yang masih kurang mendukung terselenggaranya demokrasi secara baik. Dengan pendapatan per kapita sekitar US$3.987 (International Monetary Fund, 2008) GDP Purshasing Power Parity (PPP) per kapita Indonesia masih berada bahkan di bawah negara-negara seperti Vanuatu dan Fiji, Indonesia masih berada di zona rawan dalam demokrasik. Kenapa? Menurut penelitian, batas kritis bagi kelangsungan demokrasi di dunia adalah apabila pendapatan per kapita sebuah Negara mencapai US$6.600.
Dari sebuah studi ekonomi dan demokrasi, tercatat bahwa pada kurun 1950-1990, rezim demokrasi di Negara-negara dengan penghasilan per kapita US$1.500 (dihitung berdasarkan PPP tahun 2001) hanya mempunyai harapan hidup 8 tahun. Pada tingkat penghasilan per kapita US$1.500-US$3.000, rezim demokrasi dapat bertahan rata-rata 18 tahun dan pada tingkat pendapatan per kapita di atas US$6.000, daya hidup system demokrasi di sebuah Negara jauh lebih besar dan probabilitas kegagalannya hanya 1:500.
Posisi Indonesia
Dengan pendapatan per kapita Indonesia yang diperkirakan sekitar US$4.000, dimana batas krisis bagi demokrasi sekitar US$6.600, maka Indonesia belum mencapai 2/3 jalan menuju batasan bagi demokrasi.
Oleh karena itu, menurut Boediono, pada tahap awal kehidupan demokrasi, Indonesia sebaiknya memberikan prioritas tertinggi bagi upaya memacu pertumbuhan ekonomi dan sejauh mungkin menghindari krisis.
Hal ini akan sangat mengurangi resiko kegagalan demokrasi. Hal terbaik yang harus dilakukan, kata Boediono, adalah secepatnya membangun perekonomian agar income per kapita bangsa Indonesia mencapai batas aman bagi pemerintah demokrasi, yaitu US$6.600.
Menurut Boediono, pertumbuhan ekonomi akan membantu tumbuhnya kelompok pembaharu dengan catatan: pertama, pertumbuhan itu menyentuh dan broad-based; dan kedua prosesnya mengandalkan kegiatan berdasarkan hasil kerja, inisiatif, dan kekuatan sumber daya manusia bukan dengan penjualan kekayaan alam, utang luar negeri, dan lainnya.

3. Indonesia Cepat Lalui Krisis
Menurut Institute for Management Development (IMD), lembaga think thank dan pendidikan yang berpusat di Swiss, Indonesia seperti Negara-negara lain di Asia Tenggara, memiliki daya tahan yang cukup baik. Indonesia juga dianggap memiliki kemampuan untuk pulih dengan cepat karena telah mengalami krisis keuangan cukup parah pada 1997/1998 sehingga lebih baik dalam mengantisipasi krisis saat ini.
IMD mengatakan bahwa, Negara-negara seperti itu seringkali mampu untuk beradaptasi dan pulih pada masa sulit. Penjelasan lain adalah karena mereka telah mengalami krisis keuangan cukup parah dan krisis properti satu decade lalu dan jadi lebih waspada dalam kebijakannya.
Stress test versi IMD merupakan analisis untuk mengukur sejauh mana Negara dapat melalui krisis dan memperbaiki daya saingnya pada masa depan. Analisis dengan cakupan survey 57 negara itu mengambil Indikator proyeksi ekonomi, pemerintah, bisnis, dan masyarakat sebagai basis penilaiannya. Dari empat faktor yang dinilai dalam stress test, daya tahan Indonesia untuk indikator pemerintah berada di peringkat-26. Adapun indikator lain seperti proyeksi ekonomi, bisnis dan masyarakat, masing-masing masuk ke posisi 33,36, dan 33.
Mentri Koordinator bidang Perekonomian Sri Mulyani Indrawati optimis peringkat stress test Indonesia akan lebih baik pada tahun depan karena survey IMD dilakukan terhadap indicator ekonomi sepanjang 2008, ketika negeri ini masih diliputi dampak krisis cukup parah. Kenyataannya, katanya, kinerja perekonomian pada kuartal I/2009 dan proyeksi ekonomi RI sepanjang tahun ini lebih baik dibandingkan dengan Megara-negara lain.
Perekonomian Indonesia pada kuartal II/2009 diproyeksi sedikit melambat dibandingkan dengan kuartal sebelumnya, kendati secara tahunan diyakini masih akan tumbuh 4%. Direktur Perencanaan Makro Kemeneg PPN/Kepala Bappenas Bambang Prijambodo secara pribadi meyakini pertumbuhan ekonomi pada kuartal II/2009 masih akan positif meski tidak sebesar realisasi kuartal I/2009 yang mencapai 1,6%. Secara tahunan (year-on-year) juga demikian, dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi kuartal I/2009 yang sebesar 4,4%, kemungkinan realisasi pada kuartal II/2009 lebih rendah di kisaran 4,4%. Konsumsi masyarakat masih akan menjadi pendorong utama dari pertumbuhan ekonomi kuartal II/2009 yang masih terjaga dengan adanya laksana pemilihan umum. Ekonom Indef Ikhsan Modjo, mengatakan pertumbuhan ekonomi kuartal II/2009 kemungkinan akan turun sedikit karena ekspor dan investasi masih lemah.

4. Kebijakan Moneter Belum Cukup Longgar
Seiring dengan semakin terkendalinya tekanan inflasi, BI sudah menurunkan bunga acuannya dengan agresif. Pada November 2008, suku bungan acuan BI masih di level 9,5 persen. Bulan Juni ini suku bunga acuan BI sudah turun ke 7 persen. Ini adalah level terendah dalam sejarah suku bunga acuan BI. Sudah barang tentu langkah BI menurunkan suku bunga dengan agresif tersebut disambut baik oleh banyak pihak.
Penurunan suku bunga acuan BI diperkirakan akan diikuti oleh bunga-bunga yang lain, termasuk bunga pinjaman. Namun, harapan itu tak kunjung terwujud. Banyak kalangan yang merasa kecewa melihat kenyataan yang ada. Suku bunga pinjaman tidak turun secepat yang diharapkan.
Dengan suku bunga acuan BI pada level 7 persen, seharusnya suku bunga pinjaman berada pada kisaran 11,9-12 persen. Angka suku bunga pinjaman itu dihitung berdasarkan respons sistem perbankan negeri ini terhadap kebijakan moneter BI periode 2006-2008. Saat ini bunga pinjaman masih ada yang bertahan di atas 16 persen.
Dampak dari belum turunnya bunga pinjaman secara signifikan, sector riil kita menjerit meminta suku bunga pinjaman diturunkan dengan segera. Memang bunga yang tinggi membuat biaya bunga (cost of capital) menjadi tinggi. Hal ini juga membuat produk domestic sulit bersaing dengan produk Negara-negara lain yang bunga pinjamannya jauh lebih rendah dari bunga pinjaman disini. Daya saing produk kita pun tergerus dan sector manufaktur kita menjadi sulit untuk tumbuh lebih cepat.
Di Indonesia, misalnya, BI mengurangi monetary base dengan cara menerbitkan sertifikat Bank Indonesia (SBI). Penerbitan SBI akan mengurangi uang dari system perekonomian kita karena bank yang membeli SBI akan menyetorkan uang ke BI sebesar SBI yang dibelinya. Uang yang diterima BI tersebut akan disimpan di BI sehingga ada uang yang menjadi tidak dapat digunakan oleh perbankan kita. Suplai uang di system financial kita pun menjadi berkurang.
Bila dilihat dari suku bunga saja, BI memang tampak agresif melonggarkan kebijakan moneternya. Namun, kalau dilihat dari sisi suplai uang, kebijakan moneter BI sebenarya masih kurang ekspansif. Hal itu diperlihatkan dari monetary base yang tidak tumbuh, bahkan pertumbuhannya negative dalam beberapa bulan terakhir ini. Itu berarti BI tidak memompa cukup uang ke system agar suplai uang meningkat.
Salah satu penyebab terjadinya pertumbuhan monetary base negative adalah terjadinya arus modal keluar pada Oktober 2008 yang menyebabkan rupiah melemah secara signifikan waktu itu. Tampaknya BI melakukan intervensi dengan menjual dollarnya atau menyerap rupiah dari pasar. Hal ini mengakibatkan berkurangnya suplai uang di system finansial kita. Kenaikan itu diperburuk pula oleh kenaikan SBI outstanding (total jumlah SBI yang ada) sejak Oktober 2008, yang berarti BI menarik likuiditas dari system finansial kita lebih banyak lagi.
SBI outstanding terus mengalami kenaikan sejak saat itu. Pada September 2008 SBI outstanding berjumlah sekitar Rp 116 Triliun. Pada Juni 2009, SBI outstanding sudah naik menjadi sekitar Rp. 239 triliun. Pada saat bersamaan, keterlambatan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) juga turut memperburuk keadaan. Akibatnya, pendapatan pemerintah dari pajak ataupun dari surat utang Negara (SUN) tertahan di BI.
Pada Januari 2009 jumlah uang pemerintah di rekening pemerintah di BI Rp. 104 triliun. Jumlah ini meningkat menjadi Rp. 187 triliun yang ditarik keluar dari system finansial kita pada periode tersebut.

5. Sektor Perbankan
Direktur Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia Halim Alamsyah mengatakan angka sementara kredit bulan kelima tahun ini menunjukkan tanda-tanda kenaikan walaupun belum secepat tahun lalu. Berdasarkan catatan bisnis, Halim pernah menyampaikan pertumbuhan kredit dalam 4 bulan pertama tahun ini hanya naik Rp.5 triliun. Artinya dalam sebulan realisasi kredit perbankan rata-rata hanya naik Rp. 1,25 triliun.
Dengan realisasi kredit Mei sebesar Rp.3 triliun berarti ada peningkatan hamper tiga kali lipat dibandingkan dengan rata-rata 4 bulan sebelumnya, sehingga pembiayaan perbankan dalam 5 bulan ini tumbuh sekitar Rp. 8 triliun.
Total kredit perbankan hingga Mei menjadi Rp. 1.361,6 triliun—termasuk pembiayaan penerusan. Namun, angka itu masih tercatat menurun jika dibandingkan dengan posisi November 2008 yang pernah mencapai titik puncak sebesar Rp. 1.371,9 triliun.
Halim menyampaikan kondisi likuiditas perbankan masih belum banyak berubah dibandingkan dengan posisi April, tapi secara tahunan dana pihak ketiga masih tumbuh 17%-18%.
Dengan pertumbuhan sebesar 18% apabila dibandingkan dengan posisi Mei 2008 sebesar Rp. 1.505,6 triliun, dana pihak ketiga perbankan saat ini menjadi Rp. 1.776,6 triliun. Namun angka itu menyusut jika dibandingkan Maret 2008 yang sebesar Rp. 1.786 triliun.

6. Rasio Utang RI Turun 30%
Pada 1999 rasio utang Indonesia 100% karena saat itu pemerintah harus mengeluarkan surat utang baru sekitar Rp. 600 triliun untuk menyelamatkan perbankan nasional. Setelah itu rasio terus menurun. Menkeu mengatakan bahwa, semua pemerintahan, mulai dari Presiden Habibi, Gusdur, Ibu Megawati, hingga sekarang memiliki kebijakan yang sama, menurunkan rasio utang-utang.
Tahun 2003, rasio utang Indonesia terhadap PDB 61%, memasuki 2008 menjadi 33% terhadap PDB, dan tahun ini pemerintah berniat menurunkan menjadi 32%. Total utang pemerintah Indonesia saat ini hingga 29 Mei 2009 mencapai Rp. 1.700 triliun, yakni pinjaman luar negeri Rp. 732 triliun dan surat berharga Negara (SBN) Rp. 968 triliun, yaitu pinjaman luar negeri Rp. 730 triliun dan SBN Rp. 906 triliun.
Menurut kepala Devisi Advokasi dan Jaringan dari Forum Lembaga Swadaya Masyarakat Internasional di Indonesia, “Wahyu Susilo”.


SUMBER :


0 komentar:

Posting Komentar

 

Copyright © private in mee